Selasa, 13 April 2010

CARA MENJALANKAN HAJI WANITA HAIDS

Dalam pelaksanaan ibadah haji sering didapati adanya kaum wanita yang resah sebab mereka tidak bisa melakukan ritual ibadah karena kedatangan haidh. Pada masalah ini, tidak menjadi halangan bagi seorang wanita untuk melaksanakan seluruh ritual ibadah haji seperti ihram, wukuf, jumrah, tahallul dan lain-lain kecuali tawaf di Baitullah. Bahkan meski tawaf tidak diperkenankan bagi wanita haidh, namun Sa'i diperbolehkan bagi mereka, sebab Mas'a (tempat sa'i) bukan termasuk bagian masjid menurut pendapat yang shahih.
Berdasarkan alasan di atas, maka wanita haidh diperbolehkan untuk melakukan semua ritual ibadah haji kecuali tawaf di Baitullah.
Kondisinya akan berbeda, bila meski tawaf ifadah sudah ditunda pelaksanaannya bagi wanita haidh namun waktu perjalanan dan jadwal penerbangan sudah amat mendesak, sedangkan wanita tersebut belum bersih dari haidh. Bagaimana cara wanita tersebut menuntaskan tawaf ifadhah yang menjadi salah satu rukun haji?
Dalam hal ini terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan oleh wanita tersebut. Pertama, Ia mewakilkan tawaf ifadhah kepada orang lain. Tata cara mewakilkan tawaf adalah orang yang menjadi wakil melakukan tawaf atas dirinya terlebih dahulu, lalu ia tawaf 7 putaran lagi bagi wanita haidh yang mewakilkan dengan niat inabah (mewakilkan) .
Kedua, Menggunakan obat penunda haidh. Hal ini diperkenankan untuknya sebab tawaf ifadhah adalah rukun haji. Bila ternyata obat itu efektif dalam menunda haidh, maka wanita bersangkutan diperkenankan mandi bersih dan melakukan tawaf saat haidhnya terhenti.
Ketiga, Tawaf pada saat darah haidh tidak keluar. Bila pada masa-masa haidh seorang wanita mendapati bahwa darahnya tidak keluar, maka saat itu ia diperkenankan untuk mandi dan melakukan tawaf ifadhah. Hal ini selaras dengan salah satu pendapat imam Syafi'i. Pendapat ini juga didukung oleh imam Malik dan Ahmad bin Hambal. Pendapat yang sama juga didukung oleh para pengikut madzhab Hambali dan Syafi'i sebagaimana dikutip oleh Imam an Nawawi dalam kitabnya yang berjudul Al Majmu'.
Keempat, Menggunakan pembalut. Bila kondisi dan jadwal perjalanan begitu sempit, maka wanita haidh diperkenankan untuk mandi dan menggunakan pembalut lalu melakukan tawaf. Penggunaan pembalut diperkenankan dalam hal ini agar tidak mengotori masjid dan mengganggu muslimin lain yang berada di sana. Pendapat ini didukung oleh Imam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim yang menyatakan diperbolehkannya seorang wanita haidh melakukan tawaf ifadah jika ia khawatir tertinggal rombongan yang akan berangkat dengan syarat ia menutup kemaluannya dengan pembalut sehingga tidak akan menetes darinya darah haidh saat ia tawaf di masjid.
Itulah beberapa cara yang diperkenankan menurut pendapat beberapa ahli ilmu bagi wanita haidh yang terdesak jadwal perjalanan dan ia belum melakukan tawaf ifadhah yang menjadi rukun haji. Wallahu A'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar