Jumat, 12 November 2010

MENATAP WAJAH ALLAH

Menatap Wajah Allah SWT

Oleh: Mochamad Bugi


dakwatuna.com – Kata Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, “Ini merupakan puncak
kerinduan pecinta surga dan bahan kompetisi mereka. Dan untuk hal ini
seharusnya orang-orang bekerja keras untuk mendapatkannya.”

Nabi Musa pernah meminta hal ini. Dijawab oleh Allah SWT seperti yang
tertera di ayat 143 surat Al-A’raf.

Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang
telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya,
berkatalah Musa, “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar
aku dapat melihat kepada Engkau.” Tuhan berfirman, “Kamu sekali-kali
tidak sanggup melihat-Ku. Tapi lihatlah ke gunung itu, jika ia tetap
di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”.
Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya
gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa
sadar kembali, dia berkata, “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada
Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.”

Ada tujuh pelajaran dari ayat di atas:

1. Tidak boleh menuduh kepada Nabi Musa bahwa ia meminta sesuatu
yang tidak diperkenankan oleh Allah swt.
2. Allah tidak memungkiri permintaan Nabi Musa.
3. Allah menjawab dengan kalimat, “Kamu tidak akan sanggup
melihat-Ku.” Bukan mengatakan, “Aku tidak bisa dilihat.”
4. Allah Mahakuasa untuk menjadikan gunung itu tetap kokoh di
tempatnya, dan ini bukan hal mustahil bagi Allah, itu merupakan hal
yang mungkin. Hanya saja dalam hal ini Allah juga mempersyaratkan
adanya proses ru’yah (melihat). Jadi, seandainya hal itu merupakan
sesuatu yang mustahil, sudah tentu Allah tidak akan mempersyaratkan
hal itu.
5. Kalimat “tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu,
dijadikannya gunung itu hancur luruh” adalah bukti bahwa bolehnya
melihat Allah swt. Jika boleh bagi-Nya menampakkan diri kepada gunung,
bagaimana terhalang untuk menampakan diri kepada para nabi, rasul, dan
wali-Nya di kampung akhirat?
6. Di ayat itu Allah swt. memberitahu kepada Nabi Musa bahwa gunung
saja tidak mampu melihat-Nya di dunia, apalagi manusia yang lebih
lemah dari gunung.
7. Allah swt. telah berbicara dengan Nabi Musa. Nabi Musa juga
telah mendengar perkataan Allah swt. tanpa perantara. Maka,
melihat-Nya sudah pasti sangat bisa.

Dalil Bertemu Allah

1. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan
menemui-Nya. (Al-Baqarah: 223)

Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka
datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu. Dan
bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan
menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.

2. Penghormatan kepada mereka (orang-orang beriman) pada hari mereka
menemui-Nya adalah salam. (Al-Ahzab: 44)

Salam penghormatan kepada mereka (orang-orang mukmin itu) pada hari
mereka menemui-Nya ialah: Salam; dan dia menyediakan pahala yang mulia
bagi mereka.

3. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang shalih. (Al-Kahfi: 110)

Katakanlah: Sesungguhnya aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku, “Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan
yang Esa”. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia
mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya”.

4. Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah. (Al-Baqarah: 249)

Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata,
“Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa
di antara kamu meminum airnya, bukanlah ia pengikutku. Dan barang
siapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, Maka dia
adalah pengikutku.” Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang
di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman
bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah
minum berkata, “Tak ada kesanggupan kami pada hari Ini untuk melawan
Jalut dan tentaranya.” Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan
menemui Allah berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit
dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah
beserta orang-orang yang sabar.”

Para ahli bahasa sepakat bahwa jika liqa’ itu dinisbahkan kepada yang
hidup, yang selamat dari gangguan kebutaan dan penghalang lainnya.
Maka, hal itu menuntut adanya penglihatan dengan mata.

Bagaimana Dengan Ayat 103 Surat Al-An’am?

Laa tudriku hu al-absharu wa huwa yudriku al-abshara wa huwa
al-lathiifu al-khabiir.

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat
melihat segala penglihatan itu.

Kata Ibnu Taimiyah, “Ayat ini lebih menunjukkan bahwa Allah bisa
dilihat daripada menunjukkan tidak bisa dilihat. Allah menyebutkannya
dalam konteks memberikan pujian. Sudah maklum bahwa pujian terhadap
diri-NYa adalah sifat-sifat yang pasti dan melekat. Jika tidak ada,
maka tidak sempurna, sehingga tidak layak dipuji.”

Ibnu Taimiyah menambahkan, “Hanya saja Allah itu dipuji dengan tidak
adanya sesuatu bila sesuatu itu mengandung hal yang ada wujudnya,
sebagaimana pujian terhadap diriNya dengan menafikan kantuk dan tidur
yang mencakup kesempurnaan terus-menerusnya Allah mengurus
makhluk-Nya; menafikan kematian yang berarti kesempurnaan hidup, serta
menafikan capek dan letih yang mengandung kesempurnaan kekuasaan.”

Ibnu Taimiyah lalu menegaskan, “Oleh karena itu, Allah tidak memuji
diri-Nya dengan ketiadaan yang mengandung sesuatu yang melekat. Sebab,
sesuatu yang ditiadakan (ma’dum) itu menyertai yang disifati berkenaan
dengan ketiadaan itu. Sesuatu Dzat Yang Sempurna tidak bisa disifati
dengan hal yang layak bagi-Nya maupun sesuatu yang tiada. Jika saja
yang dimaksud oleh firman Allah swt. laa tadrikuhu al-abshaaru adalah
bahwa Dia tidak bisa dilihat dalam kondisi apa pun, maka dalam hal ini
tidak ada pujian maupun kesempurnaan, karena yang tiada juga demikian.
Sesuatu yang tiada jelas tidak bisa dilihat dan tidak bisa ditangkap
dengan penglihatan, sedangkan Rabb jelas Mahatinggi untuk dipuji
dengan sesuatu yang juga terdapat pada sesuatu yang jelas tidak ada.
Dengan demikian, makna dari ayat di atas adalah bahwa Ia tetap bisa
dilihat namun tidak bisa ditangkap sepenuhnya dan tidak bisa
dimengerti hakikatnya.”

Maka, kata Ibnu Taimiyah, “Firman Allah laa tudrikuhu al-abshaaru
menunjukkan puncak dari keagungan Allah. dan bahwa Dia lebih Besar
dari segala sesuatu. Dan juga, karena keagunganNya, Dia tidak bisa
ditangkap atau dimengerti oleh pandangan. Kata idraak adalah lebih
dalam daripada ru’yah (melihat).”

Liqa’ullah Adalah Az-Ziyadah

Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang
yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). Bagi orang-orang
yang berbuat baik, ada “pahala yang baik” (surga) dan “tambahannya”.
Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan.
Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya. (Yunus: 25-26)

Menurut Ibnu Qayyim, yang dimaksud dengan kata al-husna di ayat itu
adalah al-jannah (surga), sedangkan yang dimaksud dengan az-ziyadah
(tambahan) adalah memandang wajah Allah Yang Mulia. Ini adalah tafsir
Rasulullah saw. atas ayat itu dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Muslim dalam Shahih-nya.

Rasulullah membaca ayat lilladzina ahsanu al-husna wa ziyadah, lalu
bersabda, “Jika ahli surga sudah masuk ke dalam surga, demikian juga
ahli neraka sudah masuk ke dalam neraka, maka ada seorang malaikat
yang menyeru: Wahai ahli surga, sesungguhnya kalian telah dijanjikan
di sisi Allah, maka sekarang Allah hendak menunaikan janji itu kepada
kalian. Mereka berkata: apakah janji itu? Bukankah Dia telah membuat
berat timbangan kebaikan kami dan telah membuat putih (cerah) wajah
kami, serta telah memasukkan kami ke dalam surga dan mengeluarkan kami
dari neraka? Akhirnya, tabir pun dibuka lalu mereka bisa melihat
kepada-Nya. Sungguh tidak ada sesuatu yang telah Dia berikan kepada
ahli surga yang lebih mereka cintai daripada melihat kepada-Nya.
Itulah yang dimaksud dengan ziyadah.”

Ali bin Abi Thalib dan Anas bin Malik berkata, “Yang dimaksud adalah
melihat Wajah Allah swt.” saat menafsirkan ayat lahum maa yasyaa-una
fiihaa wa ladainaa maziid, mereka di dalamnya memperoleh apa yang
mereka kehendaki; dan pada sisi kami ada tambahannya. (Qaf: 35).

Melihat Dengan Mata Kepala

Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Mereka
melihat kepada RabbNya. (Al-Qiyamah: 22-23)

Ayat ini menegaskan dengan gamblang bahwa Allah akan dilihat dengan
mata kepala secara langsung pada hari kiamat nanti. Tentang hal ini
banyak hadits berderajat mutawatir.

Hadits Abu Hurairah dan Abu Sa’id dalam Shahihain menceritakan bahwa
para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah kita akan melihat Rabb
kita pada hari kiamat?” Rasulullah saw. menjawab, “Apakah kalian
mendapatkan kesulitan melihat bulan pada saat purnama?” Mereka
menjawab, “Tidak, ya Rasulullah.” Beliau bertanya lagi, “Apakah kalian
mendapatkan kesulitan melihat matahari pada saat tidak ada awan?”
Mereka menjawab, “Tidak.” Beliau kemudian bersabda, “Seperti itu juga
kalian melihat Rabb kalian.”

Anas bin Malik berkata, “Manusia akan melihat Allah pada hari kiamat
nanti dengan mata kepala mereka.”

Orang Kafir Tidak Akan Melihat Allah

Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka
usahakan itu menutup hati mereka. Sekali-kali tidak, sesungguhnya
mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb mereka.
(Al-Muthaffifin: 14-15)

Dan salah satu bagian dari hukuman terbesar terhadap orang-orang kafir
adalah mereka terhalang untuk melihat Allah dan terhalang dari
mendengar perkataan-Nya.

Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i menjelaskan tentang ayat itu, “Ketika
mereka itu terhalang dari melihat Rabb mereka karena mereka dalah
orang-orang yang dibenci atau dimurkai Allah, maka ini menjadi bukti
bahwa wali Allah itu akan melihat Allah karena Allah meridhai mereka.”

Lalu Ar-Rabi’ bertanya, “Wahai Abu Abdillah, apakah benar engkau
mengatakan demikian?” Ia menjawab, “Ya, benar! Karena itu pulalah aku
menundukkan diri diri di hadapan Allah. Kalau saja Muhammad bin Idris
tidak meyakini bahwa ia akan melihat Allah tentu ia tidak mau
menghambakan diri kepada-Nya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar